Mengenal karakter Batu Mulia
23 Selasa Okt 2012
Posted Uncategorized
in
23 Selasa Okt 2012
Posted Uncategorized
inApalagi jika yang harus dinilai antara yang asli dan imitasi benar-benar sama, seperti batu permata misalnya. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui mana batu permata asli, dan mana yang imitasi. Namun, bukan berarti pengetahuan tentang batu permata ini tidak bisa dipelajari.
Ketidak tahuan masyarakat awam bahkan para penggemar batu permata, mengenai mana yang asli dan mana yang palsu, menjadi lahan subur untuk berkeliarannya para penjual yang tidak bertanggung jawab alias penipu berkedok penolong, yang pura-pura memberi advis konsultasi gratis. Ujung-ujungnya menjual batu permata yang katanya asli, tapi palsu.
Seorang pedagang batu permata yang telah lama berkecimpung dalam jual beli batu permata, sering mengeluhkan adanya kasus-kasus penipuan seperti ini. Seorang konsumen datang menawarkan batu permata yang katanya asli, dibeli dari seorang kolektor batu permata. Padahal setelah dicek, ternyata batu permata tersebut “aspal”, kelihatan asli, tapi sebenarnya palsu.
Tips Menguji Batu Permata Asli
Bagi Anda yang ingin mengoleksi batu permata dan belum tahu bagaimana cara membedakan batu permata asli dan yang palsu, ada beberapa tips penting di bawah ini. Pun bagi Anda kolektor batu permata yang pengetahuannya sudah mumpuni tentang seluk-beluk batu permata, tips di bawah bisa juga untuk sharing.
Yang terpenting adalah jangan sampai malu bertanya, karena akan sesat menentukan batu permata yang asli.
23 Selasa Okt 2012
Posted Uncategorized
inHasrat manusia terhadap perhiasan batu permata serta suatu benda yang indah untuk mempercantik diri telah berlangsung ribuan tahun. Perhiasan berbentuk cincin, kalung atau gelang yang dikenakan manusia sebagai media sugesti atau pembawa keberuntungan juga telah berakar sejak ribuan tahun silam.
Di blok ini saya ingin membagi pengetahuan tentang batu permata yang umumnya sangat minim diketahui oleh masyarakat awam. Dan semoga tulisan saya ini dapat memberikan sedikit masukan berharga kepada para pembaca yang ingin memulai mengoleksi atau pun yang telah lama berkecimpung dalam dunia batu permata.
Unsur yang sangat penting dalam menilai batu pertama disebut dengan 4C, yaitu :
1. Color : warna sangat berperan besar dalam menilai batu permata. batu permata yang memiliki warna yang indah tentu saja bernilai lebih berharga dari pada batu permata lain nya yang memiliki warna yang kurang baik.
2. Cutting : model potongan, juga sangat mempengaruhi nilai akhir dari sebuah batu permata, dimana potongan yang baik akan membuat sebuah nilai batu permata melambung harga nya dan sebalik nya potongan yang buruk dan cacat akan membuat batu yang indah pun menjadi kurang baik penampilan dan tentu saja mengurangi harganya.
3. Clarity : kebersihan sebuah batu permata juga merupakan satu nilai tertentu dalam menilai batu permata, dimana batu permata yang emiliki banyak titik (inclusion) akan menjadi lebih murah dibanding batu permata yang bersih dari kotoran.
4. Carat : berat bersih dari batu permata, 1 carat adalah 0,02 gram. dimana semakin berat dan besar sebuah permata tentu nya semakin susah dan jarang didapat, yang mengakibatkan harga nya menjadi jauh lebih mahal.
Untuk para pemakai batu permata yang ingin membeli batu permata ada 3C lagi yang menjadi tambahan saat berbelanja batu permata, yaitu:
1. Chemistry
Dimana rasa suka sang calon pemakai batu permata terhadap batu permata yang akan dibeli harus lah sangat diperhatikan, karena semahal apa pun batu permata bila tidak ada rasa suka memakai atau memilikinya maka hilang lah nilai sentimentil dari batu permata tersebut. Jadi sangat disaran kan untuk mengikuti perasaan pribadi dalam memilih batu permata dan tentu saja didampingi oleh pengalaman dari 4C sebelumnya.
2. Confidence
Anda harus yakin bahwa batu permata yang anda beli adalah natural, tentu saja harus diteliti dengan baik.
3. Certificate
Sertifikat akan sangat membantu para pembeli batu permata yang tinggi nilai nya dalam melihat atau menilai keseluruhan dari batu permata tersebut. (treatment, origin dll)
Hal unik lain yang menambah keindahan sebuah batu permata selain warna nya adalah fenomena pada batu permata tersebut. yang disebabkan oleh pengaruh sinar pada batu permata, yang tentu saja ada kaitan nya dengan susunan atom kimia, kristal dan serat alami pada batu permata tersebut.
Fenomena tersebut antara lain:
1. Asterism (Star) : disebabkan oleh pemantulan sinar pada serat serat halus yang berbentuk seperti jarum yang disebut rutiles pada batu permata sehingga saat sinar memantul menampakan garis garis bersilang.
2. Chatoyancy (Cat’s eye) : disebabkan olehpemantulan sinar pada serat serat halus yang berbentuk pipa pipa sangat halus dan sejajar.
3. Adularsence : adalah pemantulan sinar yang berpindah pindah disebabkan oleh ketidakrataan struktur batu sehingga sinar menyebar.
4. Adventuresence : adalah pemantulan sinar pada serpihan serpihan halus didalam batu, yang mengakibatkan pemantulan sinar tidak merata seperti titik titik pasir.
5. Labradorescence: pancaran sinar yang terlihat dari sudut pandang tertentu yang disebabkan oleh terganggunya jalan sinar saat memasuki struktur batu yang berlapis.
6. Play of color : penampilan warna warni yang bergerak pada batu opal yang disebabkan oleh butiran butiran microskopis silica yang menebarkan warna pelangi.
7. Orient : pemunculan warna pelangi pada permukaan mutiara yang disebabkan oleh lewatnya sinar melalui lapisan lapisan nacre.
8. Iridescence : permainan warna warni yang berunah karena jalur cahaya yang terganggu.
9. Color change : perubahan warna pada batu yang terjadi pada sumber cahaya berwarna putih diganti sumber cahaya berwarna merah seperti lampu pijar.
Treatment atau memperbaiki dengan cara pengobatan yaitu bertujuan untuk memperbaiki bentuk atau pun penampilan akhir pada sebuah batu permata, tetapi tentu saja batu permata yang telah di perbaiki bernilai lebih rendah dari pada batu permata yang alami. Banyak jenis perbaikan yang dapat dilakukan pada batu permata, dan yang paling umum antara lain yaitu :
1. Heat : pemanasan adalah salah satu cara yang paling umum dalam memperbaiki atau memper indah warna dan kejernihan sebuah batu permata. Pemanasan pada batu permata ada dua jenis yaitu dengan pemanasan biasa tanpa bahan kimia tambahan dan pemanasan dengan mengunakan zat additif atau kimia tertentu lalu dipanaskan pada titik suhu tertentu.
2. Glass fill : pengisian rongga dengan bahan kimia atau resin pada sebuah batu permata yang bertujuan menjernihkan tampilan dari sebuah batu permata.
3. Oiling : meminyaki rongga batu permata dengan cara menvakum batu permata pada suhu tertentu, dengan tujuan menambah kejernihan sebuah batu permata dan menambah kilauan warna nya.
4. Coating : adalah melapisi batu permata dengan cara melapisi permukaan batu permata dengan kimia atau resin, dengan tujuan agar memperkuat batu permata dan agar tidak terkontaminasi zat – zat yang dapat mempengaruhi penampilan pada batu permata.
Bumi Indonesia yang sangat kaya akan hasil bumi dan laut ternyata juga menyimpan banyak Batu permata yang berharga, saya akan coba menjabarkan nya sedikit demi sedikit untuk mengingatkan kekayaan bumi kita tercinta Indonesia Raya.
Batu permata yang tetntu saja yang sering kita temui di Indonesia adalah batu permata dari keluarga mineral kuarsa (quartz), yang di dalam nya masih dibagi bagi kembali menjadi beberapa keturunan. sperti kecubung ungu (amethyst), kecubung emas (citrine), kecubung asihan (purple chalcedony) , yang sekarng lagi naik daun adalah keluarga quartz dari Chrysopase chalcedony yaitu yang sering disebut dengan batu bacan atau pun batu hijau garut yang harganya cukup fantastis untuk batu dari keluarga quartz agate. dan masih banyak lagi seperti kalimaya (opal) dan muatiara lombok kita yang terkenal sampai seluruh dunia.
Batu permata yang terdapat di Indonesia :
Keluarga kuarsa (quartz) :
1. kecubung ungu (amethyst) : Kalimantan & Sumatera.
2. kecubung emas/kuning (citrine) : Kalimantan & Sumatera.
3. kecubung es (crystal quartz) : Kalimantan & Sumatera.
4. kecubung asap (smoky quartz) : Kalimantan & Sumatera.
5. kecubung pink (rose quartz) : Kalimantan & Sumatera.
5. kecubung ulung/asihan (purple chalcedony) : Kalimantan & Sumatera.
6. bacan / hijau garut (chrysopase chalcedony) : Palmea, pulau bacan dan garut.
7. spritus biru langit (blue agate) : sumatera batu raja.
8. akik (agate) dll. : menyebar merata diseluruh nusantara.
Keluarga silica :
1. kalimaya banten (opal) : banten.
2. satam (tektite) : bangka belitung, sebagian kecil daerah jawa dan kalimantan.
Batu permata organik :
1. Mutiara (pearl) : lombok, manado, bali.
2. fosil getah ( amber) : menyebar merata di seluruh nusantara.
3. koral (coral) : di sepanjang perairan utara nusantara
4. tulang dan gading (invory) : menyebar merata di seluruh nusantara.
5. fosil : menyebar merata di seluruh nusantara.
Batu kuarsa (quartz) memiliki unsur atau ikatan kimiawi dasar : Si02 (silikon dioksida), dengan tingkat kekerasan 7 skala mohs dan berat jenis 2,64 – 2,66.
Di Indonesia batu kuarsa bisa di dapatkan di daerah kalimantan (banjar) dan sumatera (lampung).
Dibawah ini akan saya ulas beberapa jenis batu permata dari keluarga kuarsa yang terkenal akan keindahan nya.
Batu kuarsa yang berharga dan terkenal di bagi menjadi beberapa jenis lagi seperti :
1. Kecubung ungu (amethyst) berwarna lembayung muda sampai lembayung tua, yang dipercaya sebagai media sugesti pengasihan dan membantu mempertinggi kesadaran spiritual. Dalam keluarga kuarsa kecubung ungu merupakan jenis yang paling berharga nilai nya dibanding batu permata kuarsa jenis lain, dikarenakan langka nya jenis dan warna kuarsa jenis ini, ditambah minat dan permintaan para pemakai.
2. Kecubung kuning (citrine) berwarna kuning muda sampai kuning keemasan, merupakan batu permata kuarsa yang tinggi nilai nya setelah kecubung ungu. Tapi di praktek lapangan banyak orang melakukan pemanasan (heat treatment) pada kecubung ungu untuk menghasil kan kecubung kuning. Kecubung kuning dipercaya sebagai media sugesti untuk kesadaran diri dan bimbingan intuisi dalam kehidupan sehari- hari.
3. Batu bacan dan hijau garut merupakan keluarga kuarsa yang memiliki susunan kristal mikrokristal (microcrystaline), yang dalam dunia gemology disebut dengan chrysopase chalcedony. Batu bacan dan hijau garut memiliki warna dari biru muda sampai ke hijau tua. Yang membedakan antara batu bacan dan hijau garut adalah asal tempat mereka di tambang dan juga susunan kimia yang sedikit berbeda yang diakibat kan faktor geologis yang berbeda. Warna pada batu bacan dipercayai dapat bermetamorfosis menjadi lebih indah jika sering dipakai dan keindahan batu bacan palmea konon telah membuat orang orang dari negeri seberang seperti Taiwan & Korea datang ke Indonesia khusus untuk mencari dan mengoleksi batu jenis ini dan mereka menyebut nya giok biru (blue jade). Batu jenis ini dipercayai dapat menuntun pemakai nya untuk melakukan sesuatu dari hal kecil untuk mencapai hal yang lebih besar, seperti karakteristik warna nya yang dapat bermetamorfosis (segala sesuatu yang luar biasa dan besar berawal dari satu langkah kecil).
4. Batu biru langit (blue agate) merupakan batu permata yang telah langka di bumi Indonesia, Berwarna biru muda seperti langit pada pagi hari dan biru lembayung seperti langit pada malam hari, juga merupakan batu kuarsa yang memiliki struktur ikatan kimia mikrokristal (microcrystaline). Batu permata jenis ini di hasilkan dari daerah sumatera selatan tepatnya batu raja. Batu permata ini dipercaya akan memberikan dorongan untuk menyatakan kebutuhan emosional dan akhirnya akan membuat ketenangan batin sang pemakai.
Keempat batu diatas adalah batu permata yang terkenal dari keluarga kuarsa yang terdapat di Indonesia. Dan tentu saja nilai nya meningkat berjalan seiring nya permintaan dan kelangkaan batu permata tersebut.
23 Selasa Okt 2012
Posted Uncategorized
inAda beberapa hal sebetulnya perlu para pembaca ketahui bila kita ingin lebih jauh mengenal tentang Batu Mulia /Batu Permata. Tidak jarang pengetahuan ini hanya menjadi konsumsi pebisnis, kolektor, atau para peneliti mineral. Tulisan yang dikumpulkan dari beberapa sumber ini semoga dapat mengobati keingintahuan lebih jauh mengenai karakteristik mengenai Batu Mulia atau Batu Permata….
23 Selasa Okt 2012
Posted Uncategorized
inBerlari mengejar kilatan cahaya yang melesat melalui sisi awan…memancar kilatan warna ungu meluluhkan hati mengagumi keindahan anugerah Illahi berupa Batu Kecubung…
Batu Kecubung, yang merupakan batu setengah permata ini tak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia, baik yang faham maupun yang tidak faham tentang batu permata. Ibaratnya yang namanya kecubung ini sudah menusantara dikenal masyarakat dalam pelukan mitos bahwa kecubung memiliki khasiat yang berupa pengasihan-asmara. Saking seringnya masyarakat ini tahu tentang kecubung, sampai-sampai muncul pendapat bahwa batu ini hanya ada di Indonesia (Kalimantan, Pacitan, dan Garut). Sebenarnya tidak demikian…Batu kecubung banyak ditemukan juga di manca Negara seperti Brazil, Canada, India, Russia, Madagascar, Namibia, Sri Lanka dan Amerika (Colorado, Georgia, Montana, North Carolina, Pennsylvania, Rhode Island, Virginia). Bahkan Kecubung menjadi lambang Batu Permata dari negara bagian South Carolina-USA (US State Gemstone of South Carolina) dan dari negara bagian Ontario-Canada (Canadian State Gemstone of Ontario, Canada). Di manca Negara atau di dunia internasional Batu Kecubung disebut juga sebagai Amethyst.
Bagi para kolektor batu Mulia, merawat ini hal sepele tapi sulit dilakukan karena keterbatasan waktu. Cobalah melakukan perawatan secara periodik dengan membersihkan Kecubung atau Amethyst anda di alat pembersih perhiasan atau dapat pula dengan menggunakan air hangat yang sudah diberi sedikit sabun khusus, kemudian sikatlah perlahan dengan sikat yang memiliki bulu halus. Jaga jangan sampai Amethyst anda terkena panas atau sinar matahari yang sangat terik dalam waktu lama karena warna batu akan memucat, serta simpanlah dalam tempat tersendiri dalam artian tidak tergores atau tergesek dengan batu koleksi anda yang lain. Hindarkan juga batu kecubung anda dari bahan-bahan kimia atau kosmetik semprot seperti parfum dan hairspray karena dapat membentuk lapisan kimia dipermukaan batu yang mengakibatkan batu anda menjadi kusam. Selamat berburu kecubung yang anda minati….bagi para pria sendiri, boleh juga mencoba batu ini untuk memikat kekasih idaman anda…hasilnya?
23 Selasa Okt 2012
Posted Uncategorized
inDibalik keris terkandung nilai-nilai luhur yang harus dilestarikan, dan yang harus tidak terbuang oleh hiruk-pikuknya orang mencintai keris (komunitas). Pembacaan nilai-nilai itu telah sangat sering diutarakan dan dituliskan, namun justru sangat terlihat komunitas keris lebih suka mengabaikannya dan bergaul dengan trend-trend seni bentuk dan rupanya saja.
Pada saat keris mendapat penghargaan UNESCO, maka semaraklah berdiri paguyuban-paguyuban. Sebagai kekuatan moral bangsa, paguyuban adalah ”pilar-pilar kebudayaan” yang harus dipertahankan, karena selain tradisional, wadah seperti ini sangat fleksibel untuk berkegiatan. Maka kesinambungan mempertahankan nilai luhur keris harus dimulai dari sini, selain itu dibutuhkan ruang publik yang lebih terbuka seperti dilakukan pula penerbitan-penerbitan buku dan seminar-seminar.
Walau demikian, nilai-nilai luhur keris ini pun sering lepas dan tidak terhayati dengan baik oleh komunitas, karena justru essensi traditif dari keris sering memisah bagai minyak dan air. Keluhurannya terkalahkan oleh berbagai kepentingan, baik itu masalah gengsi, iri hati, perdagangan dan banyak lagi. Jika ditelisik justru di dalam paguyuban terjadilah saling gontok, hasut menghasut bahkan hingga terjadi karakter assasination, korbannya justru biasanya aktivis yang lurus dan sangat berharga untuk kegiatan pelestarian. Primordialisme semacam ini memang wajar karena mayoritas dalam komunitas keris masih terdominasi oleh kalangan tak berpendidikan, atau setidaknya kurang memahami nilai luhur keris oleh sebab keris dipandang sebagai benda asset komoditi antik yang menguntungkan. Persaingan dagang dan harga diri sering tak dapat dikendalikan dengan baik. Tak heran jika pada satu kota berdiri 3 – 4 paguyuban yang kemudian juga seperti terbenam tanpa kegiatan.
Nilai-nilai yang terkandung dalam keris sangatlah dapat untuk menjadi tuntunan bagi kehidupan. Melalui renstra (program kerja strategis) SNKI pada kepimpinan masa mendatang, semoga saja disadari mulai menjamah nilai-nilai keutamaan untuk berbudi luhur agar disosialisasikan baik kepada anggotanya (intern paguyuban) menjadi suri tauladan keluar. Karena jika hal ini dikaji dan digalakkan maka sebagai penggemar keris tentunya dapat memberikan sumbangsih kepada negara setidaknya dengan memberikan ketauladanan yang dapat diambil dari nilai luhur keris.
Keris mengandung ajaran dalam simbol-simbol
Keris sebagai sebuah karya merupakan penggambaran dari simbol-simbol yang merupakan kaca benggala pola tatanan hidup dan pemahaman Ketuhanan. Bentuk dhapur yang berbagai jenis adalah pengejawantahan pesan tentang apa yang dapat dihayati sebagai hasil dari penghayatan maguru alam. Dhapur atau bentuk keris yang condong (condong leleh) sebagai penggambaran manusia yang membungkukkan badannya – manembah (menyembah kepada Tuhan YME). Bentuk lurus merupakan sebuah tuntunan untuk bertakwa kepada Tuhan serta bentuk berlekuk atau keluk seperti asap dupa yang berkeluk-keluk menuju kearah atas sebagai manifestasi menuju kemanunggalan terhadap sang Maha Kuasa. Ratusan bentuk dhapur sangat dapat mencerminkan apa yang dapat diharapkan sebagai sebuah keutamaan berbudi luhur, dapur Brojol misalnya, adalah sebuah pengejawantahan keinginan manusia untuk dapat lancar (mbrojol) dalam hal menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya. Lalu keris lurus yang dibahasakan dengan sebutan keris berdhapur ”bener” adalah sebuah simbolisasi tantangan untuk dapat mempertimbangkan segala sesuatu yang dialaminya dengan jiwa yang lurus (bener – pener).
Simbolisasi dari jenis dhapur sangatlah panjang jika diuraikan, tetapi ada beberapa pokok yang perlu dipegang antara lain dhapur Pandawa (luk 5) adalah simbol agar senantiasa manusia berwatak ”satria-pinandita” seperti pendawa lima yang dihayati sebagai sebuah rangkuman dalam hal kebijaksanaan bertindak. Watak ”satria-pinadita” bisa dibahas sebagai keadaan manusia ”pemimpin” atau sering disebut satria pinandita sinisih wahyu. Tuntunan untuk menjadi tokoh pemimpin yang amat sangat religius sampai-sampai di dalam kisah-kisah pewayangan digambarkan bagaikan seorang resi begawan (pinandita) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum/petunjuk Gusti Allah (sinisihan wahyu), dengan selalu bersandar hanya kepada kekuasaan Gusti Allah, bangsa ini diharapkan akan mencapai zaman keemasan yang sejati. Maka tak heran pada jaman kerajaan sering seorang raja juga disebut sebagai ”Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng …….., Senopati Ing Ngalogo, Abdurahman Sayidin Panata Gomo, Kalifatulah Ingkang Kaping ………”. Hal ini menunjukan bahwa nilai-nilai kepemimpinan diharapkan dapat selalu dipegang teguh sebagai seorang yang berwatak ’kesatria’ yang pemberani, berani marah, berani menegur, berani merombak dan berani bertindak serta berjiwa religius.
Simbol-simbol pada dhapur keris selalu menjadi ’pameling’ (pesan agar diingat) yang sangat penting dan perlu dilakukan semacam penyusunan dan pengelompokan atau penulisan kembali agar penggemar keris dapat memanfaatkannya sebagai sebuah ajaran.
Keris sebagai perpaduan material Ibu Bumi Bapa Akasa
Ketika sang empu mewasuh besi (ditempa untuk membersihkan besi) sekian ribu kali pukulan sebagai perlambangan ”tapisan gebagan” membersihkan diri. Manusia senantiasa harus eling dan selalu membersihkan diri untuk berbuat sesuai nurani yang positif. Apa yang disebut hasil bakal keris (kodokan) adalah sebuah pemahaman bahwa manusia diberi wadah dan manusia diberi kesempatan karena memiliki akal pikiran untuk dapat digunakan menuju kepada kesucian dengan perilaku berbudi luhur.
Maka empu kita yang menganut maguru alam selalu melakukan sebuah penyatuan atau dalam bahasa Jawa ’diwor’ – ’dimor’ yang kemudian disebut ’pamor’. Penyatuan dirinya terhadap api, maka sang empu seolah ikut beresonansi sebagai api, disinilah terjadi sebuah kekuatan ”Illahi” dimana sang empu menjadi sebuah media Allah. Penyatuan besi (pasir bumi) dengan benda angkasa (iron meteorite) telah dilakukan oleh mereka (para empu) sebagai sebuah perlambangan penyatuan Ibu Bumi dan Bapa Akasa. Dari langit dan dari bumi disatukan dalam tunggku api yang dikendalikan oleh resonansi penyatuan empu bersama api (kemanunggalan dalam keadaan berKetuhanan). Maka keris sebagai karya adalah merupakan ciptaan Tuhan melalui tangan manusia. Tak heran jika akhirnya diagungkan dan disakralkan. (Dang dahana bagni niraweh sara sudarma).
Prosesi pembuatannya yang selalu menyebut mantera berulang adalah seperti halnya trend pada masa kini aliran ’Gerakan New Age’ yang berkembang berupa religius barat yang meniru timur sebagai gerakan spiritual yang berkembang pada paruh kedua abad ke-20. ’Gerakan New Age’ berputar di sekitar “menggambarkan kesahihan spiritual metafisik tradisi di Timur dan kemudian menanamkan segala sesuatu menjadi kekuatan dengan pengaruh dari self-help seperti halnya pembacaan mantera berulang-ulang, motivasi psikologi, pencapaian kesehatan holistik, parapsikologi, penelitian kesadaran dan hingga pengkajian fisika kuantum”. Hal ini bertujuan untuk menciptakan “spiritualitas tanpa batas atau dogma” sehingga dapat berdiri sebagai ajaran yang inklusif dan pluralistik. Satu lagi ciri utamanya adalah memegang “pandangan dunia holistik,” demikian halnya seperti empu sebagai manusia yang menekankan bahwa Pikiran, Tubuh dan Roh untuk saling berhubungan dalam Kesatuan/Kemanunggalan dan persatuan seluruh alam semesta (manunggaling kawula Gusti). Lebih lanjut sebetulnya apa yang dilakukan empu telah mengangkat harkat manusia sebagai utusan sehingga sebenarnya prosesi yang panjang dalam pembuatan keris itu telah mencakup sejumlah bentuk ilmu pengetahuan dan pseudosains.
Maka dari itu ada sebutan ”Empu adalah pancer atau titik temu kemanunggalan antara yang tinemu ing nalar dan yang tan tinemu ing nalar” artinya bahwa dipercaya atau tidak dunia perkerisan memasuki keadaan penelaahan transcendental antara nalar dan tidak ketemu nalar dengan obyek yang diciptakan oleh utusan itu (empu).
Maka jika keris dianggap sakti, secara turun temurun baik itu melewati periode megalitik, hingga agama-agama jelas sekali bahwa keris tetap universal dari jaman ke jaman. Hakekat dari apa yang terkandung merupakan makna penyempurnaan dalam perjalanan olah spiritual manusia menuju kesempurnaan hidupnya yang tercermin dari kekuatan prosesi pembuatan keris tersebut.
Prosesi keris melalui apepayung budi
Menelaah tiga bagian keris (Peksi – Gonjo – Wilah), menjadi sebuah pemahaman simbol dari Yoni sebagai asal muasal atau alam Purwa, dan Gonjo atau Linggam yang melahirkan pemaknaan alam madya dan selanjutnya menuju ke pucuk bilah sebagai pemaknaan alam wusana. Yaitu sebagai penghayatan manusia sebelum berwujud, masih dalam alam purwa, yang perlu di hayati dengan merenungkan dari mana sebenarnya manusia ini berasal, kemudian dalam alam madya manusia bergumul dalam kehidupan masa kini yang harus dilalui dengan perenungan dan tindakan dengan segala kawicaksanan dan berbudi, hingga menuju kematian yang sempurna.
Orang Jawa lebih suka menelaah hal ini dengan beberapa anggapan bahwa manusia selayaknya berusaha menghayati semesta beserta isinya. Manusia diberi prabot komplit (lahir dan batin) oleh Tuhan YME dan dimana disadari derajat manusia lebih tinggi dari hewan. Manusia beradab adalah manusia yang berbudaya (culture men). Dalam falsafah Jawa inti dari peradaban itu secara bertahap dan naluriah digerakkan oleh kemauan manusia (niat) untuk: Titi mangerti pranataning WIJI (mengerti atau berusaha mengerti tentang asal usul manusia), Titi mangerti pranataning DUMADI (mengerti atau berusaha mengerti tatanan yang tergelar pada jagat raya), Titi mangerti pranataning PAMBUDI (mengerti atau berusaha mengerti tatanan hidup yang berbudi), Titi mangerti pranataning PAKARTI (mengerti atau berusaha mengerti tatanan dari pekerti manusia). Kalau sudah mengerti ungkapan-ungkapan tersebut, maka semua yang ada di dunia ini akan menjadi alat manusia (gumelaring jagat dadi pirantining manungso).
Maka prosesi keris yang diwasuh (dibersihkan dengan tapisan gebagan) kemudian dibentuk sedemikian rupa memuat pesan-pesan yang tak lepas dari nilai-nilai luhur untuk menjadikan kita para penggemar keris, penghayat keris memiliki pegangan yang bukan berasal dari kekuatan Jin, setan atau pengertian yang menjerumuskan tetapi merupakan tauhid dari apa yang terkandung secara falsafati.
Dengan demikian memang sangat perlu penghayat keris mulai merangkum nilai-nilai keutamaan untuk pembangunan manusia berbudi luhur dan ikut memantapkan pembangunan karakter bangsa, yang sangat dibutuhkan pada masa kini. Mengingat konstelasi politik yang berkecamuk di negeri ini tampak sekali disebabkan pula oleh karena adanya krisis moral dan hilangnya ajaran atau pameling untuk berbudi luhur.
23 Selasa Okt 2012
Posted Uncategorized
inKeris buatan Ni mbok Sombro diperkirakan dari iron meteorite yang ditemukan di alam terbuka.
Keris ternyata sudah dibuat dari sejak jaman purwacaritra, Mataram Hindu abad 8 M hingga detik ini. Keris dikenal dibuat dari besi bumi dan pamor bahan meteor dari angkasa sebagai lambang penyatuan “Kawulo Gusti”. Namun sangatlah sulit dilacak apakah benar bahan pamor yang menyertainya itu pasti dibuat dari bahan meteor. Beberapa pihak, yaitu yang sangat memahami keris bisa membedakan jenis pamor dari bahan meteor dan yang bukan. Pengamat dan kolektor yang sangat memahami ini adalah Ir. Haryono Haryoguritno, KRA. Sani Gondoadiningrat dan beberapa senior sekaligus praktisi keris seperti Toni Junus dlsb.
Eksperimentasi pamor miring (blarak) dengan bahan Nantan Iron Meteorite.
Iron meteorite Nantan dari Guang Ji – China jatuh sekitar abad 16.
Keris buatan sekarang, yang sering disebut keris tangguh Kamardikan (karya sesudah jaman kemerdekaan), justru sengaja memulai dibuat dari bahan pamor iron meteorite. Secara scientific meteor semakin mudah didapati, karena hobbies terhadap meteor sangat berkembang di luar negeri. Praktisi dan seniman keris membuat keris dengan mengimport bahan meteor dari luar negeri …. bayangkan, ini demi mengejar kualitas agar keris Kamardikan (baru) dapat memancarkan aura yang sama seperti keris sepuh. Meteor yang dipakai pun adalah meteor tua yang jatuh pada abad 16 M, sebagai contoh iron meteorite Campo del Cielo dari Argentina, Mundrabilla dari West Australia dan Nantan dari Guang Ji. Seniman keris sekarang telah melakukan beberapa eksperimennya dan hasilnya memuaskan. Tak heran jika keris-keris buatan jaman sekarang atau disebut keris kamardikan, telah sama hebatnya dengan keris tua.
Sumber: http://www.javakeris.com
kunjungi juga www.aurabumi.blogspot.com
23 Selasa Okt 2012
Posted Uncategorized
inTantangan pelestarian ‘budaya spiritual’ pada keris Kamardikan
Oleh : KRT. Toni Junus Kartiko Adinagoro(1)
Foto 1 : Besalen Empu KRT. Subandi Suponingrat – Menggarap pamor dari bahan logam meteor.
Abstrak
Budaya keris tak lepas dari dua aspek pemahaman yaitu bendawi dan non-bendawi; Eksoteri dan esoteri.
Awalnya, fungsi keris adalah sebagai senjata tikam, dalam perjalanannya bergeser sebagai status sosial bermuatan spiritual, sebagai ”ageman” atau pusaka turun-temurun. Prosesi pembuatan keris, merupakan narasi ritual yang dilatari perlakuan esoteristik Kejawen. Karena itu keris adalah ekspresi kultural sang empu dalam ibadahnya.
Gerbang
Kejawen dari kata Jawa (Java): Javanism, adalah kegiatan orang Jawa dalam pencarian pengetahuan tentang hidup yang benar, menjadi ketauladanan kerohanian masyarakatnya turun-temurun, serta dipraktekkan dalam tatacara kehidupan lahiriahnya. Salah satu prinsipnya adalah mencari urip sejati (urip = hidup; sejati = true) mencapai hubungan yang harmonis antara hamba dan Tuhan, Jumbuhing Kawulo Gusti (jumbuh = a good relation, menyatunya, kawulo = hamba, gusti = Tuhan, Allah).
Kejawen merupakan ajaran spiritual asli leluhur tanah Jawa, yang dahulunya belum terkena pengaruh budaya luar. Artinya sebelum budaya Hindu dan Budha masuk ke tanah Jawa, para leluhur tanah Jawa sudah mempunyai budaya spiritual sendiri. Seperti terbukti adanya beberapa cara pandang spiritual Kejawen yang tidak ada pada budaya Hindu maupun Budha. Namun demikian, sekarang kita mewarisi Kejawen yang telah melalui proses sinkretisme budaya lain bahkan sinkretik dengan agama-agama.(2)
Kejawen memiliki arti yang luas meliputi sopan santun, keyakinan, filosofi, kesenian, tradisi, kekaryaan, kesatryaan, kepemimpinan, dlsb. Dalam catatan kuno dikenal adanya istilah Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu (Sastra = tulisan; Jendra = Harjendra, Dewa Indra, Tuhan sebagai manifestasi alam semesta dan kehidupan; Hayu = tenteram dan baik; Ing Rat = di dunia dan di dalam diri pribadi; Pangruwat = merubah; Diyu = Raksasa, angkara, watak buruk, kebiadaban). Tulisan atau buku Ketuhanan untuk menuju ketentraman dengan merubah watak biadab menuju peradaban (to civiliziation).
Sastra Jendra dalam sisi pandang universal bisa dipahami sebagai ”Sastra Ketuhanan” (3) yang tumbuh dari keimanan manusia melalui penghayatan maguru alam dan kehidupan (jagad gede), merupakan software yang terprogram dalam diri manusia (jagad cilik) serta menyelia di segala aspek kehidupan manusia.
Sastra Jendra dalam buku Betaljemur Adam Makna disebut : Mustikaning kawruh ingkang kuwasa amartani ing karahayon, karaharjan, katentreman lan sak panunggilipun, memayu hayuning bawana. Artinya “mustikanya ilmu Ketuhanan sebagai pedoman hidup menuju keselamatan, kesejahteraan dan ketenteraman dalam kehidupan diri sendiri maupun untuk kebaikan dunia”.
Pemahaman Sastra Jendra Hayuningrat melahirkan konsepsi Memayu Hayuning Bawono – menjaga keseimbangan dunia dalam arti yang luas; melestarikan alam semesta untuk kesejahteraan kehidupannya; dimulai dari antara manusia dengan manusia; dan antara manusia dengan alam semesta didasari oleh hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan.
Kemudian dari kepercayaan Sastra Jendra itu, muncul suatu perenungan tentang hal keutamaan manusia yang dimaknai oleh ”budi-pekerti”.
Prosesi Pembuatan Keris Pusaka
Pada catatan anonim yang didapat dari salah satu buku tanpa judul di perpustakaan Radhya Pustaka – Surakarta yang bertulis Jawa carik (huruf Jawa), disulih secara bebas dalam bahasa latin(4), antara lain disebutkan secara runtut :
1. Kyahi empu nyamektakaken ubarampening wilah tuwin tosan waja, sinambi nindakaken samadi supados pikantuk wisik ngingingi wujud punapa ingkang gegayutan kaliyan dhuwung ingkang badhe kadamel, kalarasaken kaliyan pakaryaning tiyang ingkang nyuwun kadamelaken dhuwung punika, kadosta: supados kathah rejekinipun utawi kangge kapangkatan. Inggih ing wekdal punika mujudaken wekdal panyrantos ingkang panjang, amargi kyahi empu boten miwiti pakaryanipun saderengipun angsal tumuruning pitedah.
(1. Kyahi empu menyiapkan dan memantrai bahan besi-besi baja, sambil melakukan samadi untuk mendapatkan inspirasi tentang hal bentuk keris yang akan dibuat, selaras dengan profesi pemesannya; seperti agar banyak rejekinya atau berfaedah untuk suatu kepangkatan. Pada tahap inilah merupakan penantian panjang karena kyahi empu tidak akan memulai sebelum mendapatkan petunjuk Tuhan YME).
Pembahasan ad. 1 : Kalimat agar banyak rejeki atau berfaedah untuk suatu kepangkatan; memberi pengertian bahwa keris memang diciptakan agar mempunyai daya (tuah) untuk sesuatu tujuan dan kemanfaatan bagi seseorang melalui petunjuk Tuhan YME.
2. Manawi tataran ngajeng kala wau sampun dipun lampahi, mila kyahi empu miwiti benjing punapa anggenipun badhe miwiti pandameling dhuwung punika, kyahi empu ugi
ngetang dhawahing dinten ingkang anggenipun kedah kendel nyambut damel, amargi mujudaken dinten awon. Kyahi empu kedah lebda dhateng ngelmi Candrasengkala saha ngelmi petangan dinten.
(2. Setelah tahap pertama selesai, kemudian kyahi empu memulai dengan perhitungan kapan hari baik dimulainya pembuatan keris itu, dan kapan harus berhenti istirahat dahulu untuk melewati hari jelek. Kyahi empu dalam hal ini memang menguasai ilmu Candrasengkala dan perhitungan hari).
Pembahasan ad. 2 : Dalam perilaku sehari-hari, bangsa kita (Nusantara) memiliki kepercayaan untuk terhindar dari malapetaka, yaitu kepercayaan pada hitungan hari baik.
3. Sasampunipun katamtokaken dinten wiwitanipun, mila kyahi empu nyamektakaken sajen kangge nindakaken tatacara ingkang ancasipun nyuwun idin tuwin berkah miwah nyenyapa dhateng kekiyatan-kekiyatan ngalam ingkang mujudaken titahing Hyang Tunggal. Sajen punika wonten kalih warni: Sajen baku inggih punika sajen ingkang dipun tindakaken turun-tumurun antawisipun: tumpeng, sekar setaman, sekar telon, pisang raja, jenang abrit, jenang baro-baro, jenang rajah, jenang bolong, bekaka ayam, sambel goreng ati, kinangan sata, sedhah, apu, teh pait saha kopi pait, sentir, wewangen mliginipun kutukan menyan saha dupa. Wonten sajen wewahan sinebat sajen barikan inggih punika manawi kyahi empu angsal wisik mligi kadosta mewahi tigan ceplok, sok ugi kawewahan rah ayam pethak mulus lan sapanunggilanipun. Kyahi empu pancen lebda dhateng ngelmi sarana, utawi ngelmi sajen. Amargi sajen ingkang kagelar punika anggadhahi pralambang ingkang boten sok tiyanga mangretos.
(3. Sesudah menentukan hari baik untuk memulai, maka kyahi empu melengkapi sesaji untuk upacara memohon ijin kepada kekuatan-kekuatan alam yang juga merupakan ciptaan sang Hyang Tunggal. Sesajinya ada 2 (dua) macam yaitu sesaji baku yang dilakukan turun temurun sesuai pakem, seperti tumpeng, bunga setaman, bunga tiga rupa, pisang raja, jenang merah, jenang baro-baro, jenang rajah, jenang bolong, bekakak ayam, sambel goreng ati, kinangan tembakau, daun sirih, kapur sirih, teh pahit, kopi pahit dan lampu minyak, diseling dengan membakar kemenyan. Sesaji yang kedua disebut sesaji barikan, merupakan sesaji tambahan karena kyahi empu mendapat petunjuk atau inspirasi misalnya harus menambahkan telur mata sapi, ayam putih mulus atau yang lainnya, kemudian disantap bersama-sama. Kyahi empu memang menguasai ilmu Sarono atau ilmu sesaji, satu persatu dari sesaji itu memiliki perlambangan yang tidak semua orang tahu).
Pembahasan ad. 3 : Sesuai kepercayaan maguru alam sebagai interaksi manusia dengan alam, muncul kesadaran keikhlasan untuk melakukan ‘persembahan’ kepada Tuhan perwujudan alam yang menghidupinya (alam semestawi). ‘Persembahan’ manusia kepada alam dengan pernyataan symbol atau perlambangannya sering menjadi pengharapan dan atau kebalikannya seolah alam ‘meminta’ untuk dilakukannya. Kata ‘meminta’ dalam konteks sebagai inspirasi manusia mendapat gambaran mengetahui situasi ketimpangan alam yang membutuhkan keharmonisannya. ‘Persembahan’ itu disebut sesaji (menyajikan .….), maka dalam prosesi penciptaan keris dilakukan sesaji pokok (sesuai aturan turun-temurun) serta ada sesaji barikan.
Sesaji Barikan adalah sebagai pelengkap tambahan yang dapat mengharmoniskan tujuan penciptaan keris tersebut. Merupakan inspirasi yang terbersit oleh sang empu, dimana tidaklah setiap keris harus memakai sesaji barikan. Sebagai contoh : karena situasi wabah penyakit pada masa itu, sang Raja menitahkan membuat keris penangkal, maka dalam hal ini dipastikan ada sesaji barikannya. Pada waktu Suran (1 Suro tahun 1997?) di Kraton Surakarta Hadiningrat pernah mengumumkan sajen barikan “madu mongso” (ketan hitam yang diberi gula), agar setiap keluarga-keluarga juga mengadakan sesaji tersebut atau dimakan bersama-sama. Sebagai upaya untuk menolak suatu bencana yang diperkirakan (diramalkan) terjadi, sesaji barikan diharapkan agar alam dapat harmonis kembali.
4. Pangucaping japamantra, nalika jaman rumiyin padatanipun taksih angginakaken basa Jawi Kina, nanging ing pungkasaning jaman Majapait ewah sacara Islam. Tuladhanipun: jaman rumiyin kawiwitan kanthi ngucap Hong wilaheng, utawi niyat ingsun, nalika jaman para wali kawiwitan kanthi ngucap Bismillaah hirrahma nirrahiim…. lan salajengipun.
(4. Pengucapan mantra, pada jaman dahulunya mantra masih berbahasa Jawa kuno atau bahasa Kawi, tetapi setelah Majapahit runtuh mulai berubah secara do’a Islam. Antara lain jaman dahulu dimulai dengan mengucap Hong Wilaheng, atau niat ingsun, maka jaman para wali dimulai dengan Bismillah hirrahmanirahim …. dan seterusnya).
Pembahasan ad. 4 : Mantra dapat didefinisikan sebagai suara, bunyi, kata, atau kelompok kata yang dianggap mampu menciptakan transformasi. Mantra bervariasi sesuai dengan filosofi yang berhubungan dengan tujuan mantra. Dilakukan antara lain, termasuk dalam upacara-upacara permohonan hujan, keberkahan, menghindari bahaya, atau menghapuskan musuh. Setiap kelompok manusia atau suku bangsa memiliki mantra tersendiri, termasuk orang Jawa sejak jaman dahulu kala. Istilah ’mantra’ pertama ditulis tercatat pada adanya tradisi berasal dari Vedic (tradisi India, di masyarakat Jawa kuno sudah ada tetapi tidak ditemukan catatannya), kemudian menjadi bagian penting dalam tradisi dan praktek adat. Begitu pula, kemudian mendasari spiritual Hinduisme, Buddhisme, Sikhisme dan Jainisme. Penggunaan mantra kini meluas diberbagai gerakan spiritual yang sebelumnya ada pada tradisi-tradisi di Timur. Suatu “mantra” diucapkan dan digetarkan melalui sanubari manusia secara berulang-ulang, bahkan dari abad ke abad telah dilakukan, sehingga seolah terjadi sebuah konvensi (perjanjian) dengan alam semesta dan menghasilkan kekuatannya. Mantra lahir dari olah “rasa” yang tinggi dalam proses spiritualisasi manusia menyembah kepada Tuhan sebagai manifestasi alam dan kehidupan. Sehingga “mantra” menjadi wujud kekuatan itu sendiri.
5. Sasampunipun bakalan saton dados dipun tindakaken tuguran kaliyan bakalanipun dipun selehaken wonten ing pelataran supados manunggal kaliyan rembulan tuwin lintang ingkang wonten ing akasa. Ndungkap enjing asring wonten kadadosan gaib ingkang salajengipun dening kyahi empu dipun dadosaken gelaripun utawi namanipun sasampunipun kaaturaken dhumateng raja utawi ingkang andhawuhi damel. Tatacara punika kanamakaken ‘sirepan’, kyahi empu sareng kaliyan panjak utawi tangga-tepalih malah sok ugi kanca sesamining empu nindakaken tuguran ngantos subuh, sinambi linadosan nyamikan miwah unjukan. Nyamikan ingkang mligi padatanipun wajik.
(5. Setelah kodokan jadi, lalu dilakukan tuguran/begadang, sambil kodokan itu diletakkan di alam terbuka agar ada penyatuan kekuatan dengan rembulan atau bintang di angkasa. Menjelang pagi sering terjadi peristiwa gaib yang nantinya disimpulkan oleh kyahi empu, untuk nama gelar keris yang dihaturkan kepada Raja atau pemesannya. Tata cara tahap ini disebut ‘sirepan’, kyahi empu bersama panjak dan tetangga bahkan teman sesama empu ikut begadang hingga subuh, sambil ditemani makanan kecil dan minuman. Makanan khas yang disajikan adalah wajik atau ketan yang dimasak dengan santan).
Pembahasan ad. 5 : Perilaku prihatin atau ”nglakoni” merupakan tradisi dalam Kejawen. Maka dalam proses penciptaan keris juga ada tahap-tahap dilakukan ritual sederhana. Bakalan keris (kodokan) dipersembahkan dan dipersatukan kembali dengan alam, agar saling doyo-dinoyo (saling mendayai), didasari sebuah pemaknaan bahwa ”aku bukanlah siapa-siapa”; artinya sang empu melakukan observasi diluar obyeknya, seolah dia hanya tangan-tangan yang ’dipakai’ untuk menciptakannya. Tahap ’sirepan’ merupakan ekspresi kultural memaknai kerukunan, kegotong-royongan, toleransi, kerjasama, saling mengapresiasi, kumpul-kumpul tetangga…… dan hal ini adalah bagian kecil dari peradaban bangsa Nusantara yang mestinya harus tetap dipelihara.
6. Sasampunipun punika keris ingkang sampun dipun garap mawujud, lajeng ngancik tataran nyepuh, kyahi empu nyamektakaken bumbung ingkang dipun isi lisah klapa dipun jangkepi mawi lampah srengat tuwin sajen, padatanipun namung sekar telon, tumpeng alit, recehan kangge lelembut tumbas jajan peken saha wangen-wangen kukusing menyan. Dhuwung dipun mantrani kanthi kalarasaken kaliyan ingkang andhawuhing damel. Dhuwung dipun besmi ngantos marong lajeng dipun celupaken wonten ing salebeting bumbung ingkang dipun iseni lisah klapa. Wonten ingkang pucukipun dipun obong malih lajeng katindakaken sepuh dilat punika latu ingkang marong mawi dipun dilat dening kyahi empu ingkang sekti, padatanipun wewahan donganipun inggih punika waosan sastro pinodati, sastro gigir lan rajah kalacakra.
(6. Setelah keris yang digarap sudah berwujud/selesai, masuklah tahap nyepuh/mengeraskan besi. Kyahi empu menyiapkan tabung dari bambu yang diisi minyak kelapa, dengan dilakukan ritual dan sesaji, biasanya hanya tumpeng kecil, bunga tiga rupa dan uang recehan untuk jajan pasar para lelembut, sambil dibakari kemenyan. Keris dimantrai berulang-ulang sesuai dengan tuah yang diinginkan. Keris kemudian dibakar membara dicelupkan ke dalam bumbung yang berisi minyak itu. Ada diantaranya yang pucuknya dibakar ulang kemudian dilakukan sepuh dilat(5) yaitu ujung yang membara dijilat oleh kyahi empu sakti, sebelumnya dibacakan sastra pinodati, sastra gigir dan rajah kalacakra).
Pembahasan ad. 6 : Secara umum keris diagungkan oleh kawula perkerisan; antara lain pada keunikan teknologinya. Namun kurangnya informasi dalam hal pengerasan baja atau ‘proses sepuh’ keris pada waktu itu tidak diketahui tujuan yang sebenar-benarnya. Dalam tinjauan spiritual, prosesi penciptaan keris pada tahap sepuh ternyata aksentuasinya justru pada diadakannya ritual dan sesaji sebagai penyembahan kepada Hyang Gusti serta untuk ‘kulo nuwun’ kepada baureksa disekitarnya. Bahkan ‘Uang receh’ yang disebutkan adalah untuk jajan pasar para lelembut (makhluk halus); merupakan suatu kompensasi jika ada kelalaian atau kekurangan dalam sesajinya. Uang recehan itu bisa dibelanjakannya sendiri (makhluk halus) ke pasar. Kemudian pada kalimat : “Ada diantaranya yang pucuknya dibakar ulang kemudian dilakukan sepuh dilat yaitu ujung yang dibakar membara dijilat oleh kyahi empu sakti ……..dibacakan sastra pinodati, sastra gigir dan rajah kalacakra”.
Sepuh dilat adalah ritual berupa sebuah prosesi dengan menjilat sebilah besi membara biasanya pisau membara yang kemudian pisau itu dihentakkan (dicelup) pada air bunga, sebagai perlambangan bersatunya dua kekuatan. Ketika api dan air bersatu, disertai mantra sang empu terucap, maka tertanamlah kekuatan pada sebilah keris yang disepuh dilat. Sepuh dilat dapat diartikan sebagai “ngenjingaken doyo” (memantek Yoni). Dalam ajaran Sastro Jendro Hayuningrat (khusus pada paguyuban Sastro Jendro pimpinan KPH. Darudriyo Sumodiningrat yang pusatnya di Jakarta), sepuh dilat adalah bagian dari ritual manembah; yang dapat dijelaskan sebagai pembersihan diri. Tentunya bagi para pengikutnya yang telah melalui inisiasi (wejangan) terlebih dahulu. Pembersihan diri yang disebut ‘asesuci’ ada empat macam yaitu asesuci dengan media bumi, angin, tirta dan api. Asesuci bumi dan angin tidak dilakukan (secara komunal) karena ritual ini sangat pribadi dan merupakan tahapan yang tinggi. Maka asesuci biasanya dilakukan dengan media ‘air/tirta’ dan ‘api’. Dalam ritual asesuci ’api’ dilakukan 7 (tujuh) kali jilatan; sesuai diagram chandra manusia yang menyatakan bahwa manusia memiliki 7 konstruksi jasmani dimana di dalam kejawen Sastra Jendra disebut ’sapta arga’ (bulu, kulit, daging, urat, darah, tulang, sungsum). Maka 7 (tujuh) konstruksi itu dibersihkan (disucikan) satu per satu. Sedangkan ’asesuci air’ adalah mandi keramas dengan bunga-bungaan, hal ini sangat lazim dilakukan.
Sepuh dilat sering pula dianggap sebagai demonstrasi kanuragan, karena masyarakat awam terhadap hal ini (bahkan begitu pula panitia yang mengadakan), tidak mengetahui maksud dari prosesi ritual ‘sepuh dilat’ itu. Sepuh dilat biasanya dilakukan pada Upacara Sinidhikara Pusaka; dan selain itu merupakan ritual manembah rutin malam Jumat Kliwon-an. Dalam komunitas penghayat Sastro Jendro Hayuningrat; ‘sepuh dilat’ disebut dengan istilah “jamasan”.
7. Dhuwung dipun kum ing salebeting toya klapa wayu supados rereged obongan gogrog, padatanipun dipun rendhem ngantos setunggil dalu supados guwayanipun saged boten burem, saengga pamor dhuwung anggadhahi prabawa ingkang endah. Sasampunipun makaten, dhuwung dipun pulihaken mawi jeram pecel ngantos resik, saha lajeng dipun kum warangan. Dhuwung ingkang sampun dipun kum warangan dipun oser-oseri lisah tumunten dipun ‘sanggaraken’ kaseleh ing papan padupan dangunipun ngantos sawatawis dalu, kedah nglangkungi malem Jumuwah Kliwon utawi Selasa Kliwon. Bab punika katindakaken supados mantra manjing sayektos saha dhuwung ampuh saestu. Sasampunipun rampung saestu, dhuwung kadamelaken warangka jumbuh kaliyan wujuding dhuwung tuwin pun saged netepaken, awit mranggi ingkang sae adamel warangka saged kinunci.
(7. Kemudian keris direndam ke dalam air kelapa yang sudah basi, agar kerak-kerak besi pembakaran terlepas, biasanya direndam semalam sehingga keris cemerlang guwayanya, serta muncul pamornya yang indah. Setelah itu keris dibersihkan dengan air jeruk nipis hingga putih, lalu diwarangi. Keris yang selesai diwarangi diolesi minyak kemudian disanggarkan dengan cara ditaruh ditempat pedupaan beberapa hari sampai melewati Jum’at Kliwon atau Selasa Kliwon. Hal ini dilakukan agar mantranya betul-betul manjing dan keris betul-betul ampuh. Setelah selesai semua, keris dibuat warangkanya yang cocok oleh mranggi/tukang warangka yang mahir dan biasanya warangka bisa terkunci).
Pembahasan ad. 7 : Kalimat yang menarik pada point 7 ini adalah dalam ada kata disanggarkan. Kata ”sanggar” artinya ruang atau rumah pemujaan. Disanggarkan artinya keris diletakkan dalam ruang pemujaan itu. Maksudnya adalah agar semua yang telah dilakukan secara bendawi dan non-bendawi dapat mengendap. Sesuai kepercayaan Kejawen ditentukan meliwati hari tertentu, seperti Jumat Kliwon yang dianggap sebagai hari besar atau Selasa Kliwon yang dipercaya sebagai penyatuan kasih Angkasa dan Bumi yang juga disebut Anggoro Kasih (Anggoro = Selasa; Kasih = Kliwon).
Foto 2 : Keris karya Brojoguno I – Pamor Tumpuk, Koleksi KRA. Sani Gondoadiningrat.
Pemahaman Eksoterik
Esoteris keris adalah hal-hal non-bendawi pada keris meliputi segala aspeknya; seperti telah diuraikan prosesi pembuatan keris dengan ritual yang menyimpulkan adanya perlakuan esoteristik spiritual dari awal penciptaannya. Keris, secara wujud fisik atau eksoteris memuat pula ’senirupa simbolik’, sesuai karakter dan tuah yang diinginkan, tertuang dalam bentuk keris (disebut dhapur) dan motif pamornya.
Dhapur atau bentuk keris secara senirupa merupakan simbolisasi dari tujuan diciptakannya. Antara lain adanya bentuk keris lurus (dhapur bener) menyimpulkan ke’takwa’an kepada Hyang Maha Kuasa. Dhapur Jangkung (luk 3) melambangkan terjangkaunya cita-cita. Dhapur Pandawa (luk 5) agar pemiliknya dapat berdiplomasi dan memiliki watak agung seperti Pandawa lima. Begitu seterusnya hingga dapur yang lekuknya banyak seperti dhapur Ngamper Bantolo (luk 15) yang melambangkan si pemilik bisa menguasai tanah dan wilayah yang luas.
Selain dhapur, ternyata ’keris’ juga diciptakan dengan grand design sempurna dan agung; divisualkan pada motif pamor berkaitan dengan tujuan esoteriknya (tuah). Simbol-simbol senirupa ”pamor” itu tergolong dalam 5 kelompok; yang diekspresikan dalam media sebidang bilah keris, sesuai ’chandra manusia’ dengan pemahaman unsur (anasir) tubuh manusia dan semesta (pandangan Kejawen); antara lain :
1. Jika pemantraan keris ditujukan untuk kerejekian, pergaulan, dikasihi, kejayaan, kemakmuran, keduniawian atau kehidupan lahiriah lainnya maka motif pamornya ditata berbentuk meliuk-liuk dan berpusar-pusar dilambangkan sesuai karakter ”tirta” (unsur air).
Contohnya : beras wutah, udanmas, segoro muncar dlsb.
2. Konfigurasi pamor bergaris-garis seperti lidi berjajar dianggap sebagai simbolisasi penyapu bencana, penolak bala, penolak segala kelicikan, santet dan perlakuan jahat baik secara fisik maupun maya. Serta merupakan simbol kebijaksanaan. Konfigurasi garis-garis tergolong dalam sebutan pamor singkir dan pamor hadeg. Karakter yang tegar ini dilambangkan kekuatan ‘bayu’ (unsur angin) yang sanggup menyapu segalanya, menerbangkan debu, dedaunan, bahkan atap dengan tidak tampak namun tetap dapat dirasakan keberadaannya.
3. Pamor rekayasa (dirancang atau pamor rekan) berbentuk motif daun palem, daun genduru, sekar-sekaran, lebih spesifik untuk tuah kejayaan, martabat, kekuasaan, kederajatan pemiliknya. Konfigurasi ini coraknya berjuntai keatas seperti karakter dari kobaran ‘agni’ (unsur api). Tetap dalam lingkup sebagai representasi alam, contohnya pamor Ron Genduru, Blarak Sinered, Sekar Lampes, Sekar Pala, Sekar Kopi, Mayang Mekar, Pari Sa’uli, dlsb.
4. Kesentosaan juga disimbolkan dengan adanya keris polos tanpa pamor (disebut : keleng) mengibaratkan dalam diri manusia memiliki jiwa pengabdian yang tulus. Keris keleng biasanya dibuat oleh sang empu untuk kebutuhan ketentraman, orang-orang spiritual, pembela kejujuran dan sifat-sifat kesentosaan lainnya. Karakter unsur ‘bantolo’ atau ‘bumi’ disimbolisasikan dengan keris keleng tanpa pamor itu.
5. Bahwa kemanunggalan ’aku’ atau pancer-nya ditengah saudara empat atau sedulur papat yang dalam proses spiritual adalah tahap transcendental, tercapainya kemanunggalan dalam ruang bapa angkasa dan ibu bumi ditengah kiblat timur-selatan-barat-utara dalam ’aku jagad’(6), sanggup melahirkan kekuatan dahsyat dalam perwujudan goresan ’rajah’. Pamor rajah diciptakan oleh empu yang sakti dengan tujuan tertentu. Hingga saat ini, hanya beberapa bentuk pamor rajah pada keris yang bisa dimengerti seperti rajah ‘batu lapak’ memiliki tuah si pemilik dapat menghilang, lolos dari tembakan, kebal peluru, tidak tampak walaupun di depan mata musuh, dlsb; serta rajah ‘pilulut’ untuk kasengseman, pelet, kebahagiaan seksual, dlsb, ada pula rajah Alif, kalacakra dlsb, masih banyak bentuk rajah yang lain seperti ekspresi abstrak dari sang empu yang sulit diselami maknanya.
Gambar diagram jenis pamor dianalogikan dengan unsur-unsur semesta dan keperuntukannya.
Cakrawala
Melalui kajian tentang ’keberadaan’ keris pusaka dalam kaitannya dengan budaya spiritual Kejawen; pada pembahasan ’prosesi pembuatan keris’ di jaman dahulu; menyimpulkan adanya fakta bahwa keris dari awal penciptaannya dimuati kepercayaan Kejawen; kita tidak perlu tabu membahasakannya. Tidak mendalihkan pula ke hal-hal teknis (modern) dengan membuang fakta-fakta spiritual yang ada pada keris. Atau kita tersedak oleh kegundahan karena terjebak penilaian ’syirik’ dalam koridor agama.
Pembuatan keris dimasa sekarang, mengalami kemajuan pesat seperti di Solo, Jogya, Muntilan, Malang, Gresik, Madura dan Bali. Dalam hal meningkatnya ketrampilan para seniman keris memberikan angin segar karena ‘keris baru’ (keris Kamardikan) secara eksoteristik (fisik) semakin bagus dan menyamai kualitas keris tua, tentu sangat perlu diapresiasi sebagai sebuah kebangkitan kebudayaan di bumi Nusantara dalam rangka menebalkan ‘jati diri bangsa’ melalui budaya keris.
Pertanyaan fundamental dan tantangan bagi kita bersama adalah; ”Bagaimanakah seniman keris kita (empu-empu muda), sanggup berkarya dengan bobot spiritual dan mumpuni seperti empu jaman dahulu?”. Sehingga keris Kamardikan dapat memberi kemanfaatannya pula untuk sesama manusia dalam kerangka konsepsi ‘memayu hayuning bawana’. Semoga! (TJ)
Catatan kaki :
(1). Penulis adalah alumni STSRI ‘ASRI’ Jogyakarta, pegiat pelestarian Keris sebagai SekJen Panji Nusantara dan Pimpinan Redaksi majalah semi jurnal tosanaji PAMOR. Mantan pengurus DPP. Paguyuban Sastro Jendro – berdomisili di Jakarta.
(2). Wikiepedia; Kejawen.
(3). Tentang ”Sastra Ketuhanan” dibaca dari tulisan Prof. Dr. Budya Pradipta – SASTRO JENDRO HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU; Jurnal Kertagama edisi I No. 1; hal 1 – Februari-April 2009; kutipan :
Adalah buku tulisan Jawa berjudul serat Arjuna-sasrabau (1870), karya pujangga Sindu Sastra, yang memuat ungkapan terkenal: Sastro Jendro Hayuningrat Pangruwating Diyu. Terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia adalah Sastra Ketuhanan Penyelamat Dunia Pelepas Sifat Raksasa. Sastro Jendro Hayuningrat adalah ilmu (ajaran) dan lakunya bangsa Jawa yang menggayuh kesempurnaan hidup. Dengan kata lain Sastro Jendro berisi teori dan praktek hidup sempurna. Istilah Sastro Jendro atau Sastra Ketuhanan mengandung makna yang sangat luas, berisi Ilmu Ketuhanan tentang ilmu dan laku Ketuhanan yang membahas bagaimana mengolah hidup mulai dari lahir sampai tiba waktunya dipanggil Tuhan. Luas sekali. Pendek kata berisi tentang pengetahuan mikro-kosmos berikut hukum-hukumnya. Menurut penelusuran sistem nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, sebenarnya tiap-tiap bangsa di anugerahi Sastra Ketuhanan, yang nama dan strukturnya tergantung pada sistem dan konvensi budaya masing-masing yang khas. Kepada bangsa Jawa, Tuhan menganugerahkan Sastra Ketuhanan di dunia yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada jenis manusia sesuai dengan alam dan lingkungan masing-masing. Sepanjang sejarah hidup manusia, Tuhan menurunkan Sastro Jendro yang oleh manusia dipersepsikan sebagai ajaran Ketuhanan yang beraneka ragam. Kalau Adam dipercaya sebagai manusia pertama, maka seharusnya Adam pun dahulu telah menerima Sastro Jendro. Sayangnya tidak ada petunjuk tentang nama dan struktur Sastra Ketuhanan yang diterima oleh Adam itu. Mungkinkah kitab Adam makna? Di dunia dikenal ada dua wilayah yang melahirkan Sastra Ketuhanan, yaitu : pertama, Sastra Ketuhanan yang berasal dari India. Ini yang paling tua, seperti Kitab Wedha (diperkirakan ditulis 5100 tahun yang lalu oleh Resi Wiyasa) bagi umat Hindu dan kitab Tripitaka (diperkirakan ditulis 2600 tahun yang lalu oleh Budha) bagi umat Budha. Kedua, Sastra Ketuhanan yang dari Timur-Tengah ini lebih muda dari pada yang berasal dari India, seperti: Sastra Ketuhanan yang tertuang di dalam Kitab Zaratustra untuk umat Zind-Avesta, Kitab Taurat untuk Nabi Musa, Kitab Zabur untuk umat Nabi Daud, Kitab Injil untuk umat Nabi Isa, dan Kitab Al-Qur’an untuk umat Nabi Muhammad. Ini belum kitab-kitab suci lain yang diterima oleh bangsa-bangsa di luar bangsa-bangsa India dan Timur-Tengah.
Tanpa ‘keutamaan manusia’ itu, akan mengakibatkan perilaku manusia bergeser melenceng dari ’keharmonisan memayu hayuning bawana’. Antara lain terjadinya: kerusuhan yang disebabkan oleh konflik antar agama, penindasan hak-azasi manusia, hilangnya moral dan etika, dan terutama hilangnya esensi berketuhanan itu sendiri.
”Budi-pekerti” dalam lingkup ’keharmonisan memayu hayuning bawana’, terbaca pada realitas adanya tradisi-tradisi ritual yang alam semestawi. Berinteraksi pada kehidupan sehari-hari manusia, dan merupakan kompleksitas ‘keimanan’ yang horizontal – vertikal. Seperti ritual “bersih desa”, ruwatan, upacara selametan termasuk “prosesi pembuatan keris pusaka” dalam upacara sidikaranya (sinidhikara = pemantraan; Bhs. Kw.).
(4). Diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Jawa oleh Adie Deswijaya, Sarjana Sastra Jawa yang bermukim di Sukohardjo-Solo.
dan hari jelek. Proses pembuatan keris pun begitu agungnya tak lepas dari kepercayaan terhadap perhitungan hari tersebut.
(5). Kata ’sepuh dilat’ pernah ditulis dalam ritual yang diadakan oleh Sinuhun Paku Buwana X dihadapan tamu raja Siam yaitu Rama ke IV (Chulalonkorn) di Alon-alon Utara; artikel S. Lumintu (kliping Buana Minggu) dan buku stensil ”Sri Susuhunan Pakoe Boewono X – Kenanganku Sepanjang Masa” oleh KPH. Djojohadinegoro S.H. (Juli 1990). Dalam buku ”Keris Jawa; antar Mistik dan Nalar” ditulis oleh Haryono Guritno, empu terakhir yang tercatat mampu melakukan ’sepuh dilat’ adalah Wirasukadgo di jaman Paku Buwana X.
6. Kondisi terjadinya ”aku jagad” harus dipahami dahulu bahwa manusia memiliki abstraksi empat saudara yang analog dengan pasaran; mata angin; unsur tubuh; aura; dan Caraka, sbb, adalah :
1. Puser : Legi – Timur – Unsur Angin – Aura Putih – HO NO CO RO KO
2. Getih/darah : Paing – Selatan – Unsur Api – Aura Merah – DO TO SO WO LO
3. Kakang Kawah/ketuban : Pon – Barat – Unsur Air – Aura Kuning – PO DHO JO YO NYO
4. Adi Ari-ari : Wage – Utara – Unsur Bumi – Hitam – MO GO BO THO NGO
Aku jagad adalah bersatunya jagad kecil dan jagad gede, dimana AKU jadi ratu ing jagad yang duduk ditengah-tengahnya kiblat dinaungi bapa angkasa dan ibu bumi. Kondisi kemanunggalan inilah melahirkan kekuatan yang dapat divisualisasikan dalam sebuah goresan rajah.
Kontributor Foto 1 : RT. Cahyo Dipuro – Surakarta; Foto 2 : dok. majalah Pamor.
Kepustakaan :
1. Anonim. tahun – . Kagungan dalem Serat Saranduning Dhuwung. Koleksi Radhya Pustaka.
2. Haryono Haryoguritno. 2005. Keris Jawa, Antara Mistik dan Nalar. Jakarta. Indonesia Kebanggaanku.
3. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta. Balai Pustaka.
4. KPH. Djojohadinegoro S.H. Juli 1990.”Sri Susuhunan Pakoe Boewono X – Kenanganku Sepanjang Masa”. Stensil.
5. Mulder, Niels. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. Jakarta. Gramedia.
6. Situs Wikiepedia. Kejawen.
7. S. Prawiro Atmojo. 1980. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta. Gunung Agung.
8. S. Harjanto. 1978. Sastra Jendra. Jakarta. Jambatan.
9. T. Sianipar, Alwisol, Munawir Yusuf. 1989. Dukun, mantra, dan kepercayaan masyarakat. Pustakakarya Grafistama.
10. Tan Khoen Swie. 1929. Serat Sastrahardjendra – Anjarijosaken pupuntoning kawruh kasampurnan, sarta tjunduk kalijan pikajenganipun ngelmi ma’rifat. Kediri. Penerbit Tan Khoen Swie.
11. Tan Moh Goan. 1912. Riwajat Modjopahit. Petak Baroe – Batavia Stad. Penerbit Eng Hoat.
23 Selasa Okt 2012
Posted Uncategorized
inBlambangan
– Sejak kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1527, Blambangan berdiri sendiri, namun dalam kurun waktu dua abad lebih (antara tahun 1546-1764) menjadi rebutan kerajaan di sekitarnya.
– Antara lain kerajaan Demak dan Mataram di Jawa Tengah, juga kerajaan di Bali (Gelgel, Buleleng dan kemudian Kerajaan Mengwi) bergantian menyerang Blambangan dalam kurun dua abad itu.
– Selama 42 tahun (1655 sampai 1697) terjadi 4 kali pemberontakan, dan 4 kali perpindahan ibukota. Kedudukan istana di Kedawung dipindahkan ke Bayu (1655), kemudian ke Macanputih dan akhirnya ke Kutalateng.
– Selanjutnya perang yang berkepanjangan mengakibatkan istana pindah lagi ke Ulupampang, dan akhirnya ke Banyuwangi pada tahun 1774.
Blambangan dalam kerahasiaan
– Blambangan mentorehkan gejolak politik yang sangat ruwet dan tidak memiliki peninggalan-peninggalan penting yang dapat menyingkap kesejarahannya.
– Tulisan-tulisan tentang Blambangan tercampur aduk dengan “mitos” dan legenda, fakta sejarah sangat sulit dirangkai. Padahal Blambangan sejak lama mendapat perhatian penulis asing. Brandes menulis dalam tinjauan filologi pada 1894, Pigeaud pada tahun 1932. Ann Kumar pada 1979, Winarsih Arifin pada tahun 1980, dan Darusuprapto menulis 1984. Semuanya tidak berani masuk dalam tulisan sejarah.
Tahun 1927, J.W. de Stoppelaar berhasil menyelesaikan tulisannya, namun dalam bidang hukum adat.
Kemudian Atmosoedirdjo menulis kajiannya dalam bidang yang sama pula (hukum Adat) tahun 1932.
Hasil kajian mengenai Blambangan dengan demikian terbatas pada dua bidang ilmu, yaitu Filologi dan Hukum Adat. Keduanya di luar bidang Ilmu Sejarah.
Tahun 1923 ada penulis C. Lekkerkerker (nama samaran) memberanikan menuliskan sejarah Blambangan.
Blambangan sebagai daerah otonom
Bukti autentiknya adalah Prasasti Gunung Butak 1294 M, menyebutkan perjanjian antara Raden Wijaya sebagai pendiri Majapahit dengan Arya Wiraraja yang telah banyak membantu dalam mendirikan kerajaan Majapahit bahwa “pulau Jawa akan dibagi menjadi dua bagian dan masing-masing mendapat sebagian”.
Dalam perjanjian itu Arya Wiraraja diberi kekuasaan atas wilayah Lumajang Utara, Lumajang Selatan dan Tigang Juru yang semua itu menjadi wilayah yang dikenal dengan Blambangan. Arya Wiraraja sebagai adipati pertama. (C. Lekkerkerker, 1923:220).
– 16 tahun Arya Wiraraja memerintah Blambangan kemudian digantikan oleh Arya Nambi (1311-1331 M); di Majapahit, juga terjadi pergantian kekuasaan Raden Wijaya kepada anaknya, Jayanegara.
– Jayanegara, tidak seperti ayahnya, ia melakukan penindasan dan menyengsarakan rakyat.
– Oleh karena itu 1316 M, Arya Nambi menyerang Jayanegara, serentetan peristiwa yang kemudian berulang terus menerus menjadi pertarungan antara penguasa pusat dan penguasa Blambangan.
– Hubungan Blambangan-Majapahit keruh ketika Bhre Wirabumi, anak Hayam Wuruk dari selir, bertahta di Blambangan (1364-1406 M) menentang pusat, perang Paregreg meletus. Namun Bhre Wirabhumi terbunuh pada 1328 Saka (1406 M) oleh prajurit pusat pimpinan Wikramawardhana.
Blambangan dan pengaruh luar
– Haagerdal (1995:106-107) dan Beatty (2001:17) menyebut bahwa Blambangan menjadi tempat pengungsian bangsawan dan cendekiawan Majapahit yang melarikan diri karena Majapahit juga semakin tak menentu, mereka mendekati Bali untuk membangun aliansi.
Pengaruh budaya Mataram Islam
– Pada tahun 1639 M, Mataram di Jawa Tengah berhasil menaklukkan Blambangan; rakyat Blambangan banyak yang terbunuh dan dibuang. (G.D.E. Haal, seperti yang dikutip Anderson, 1982; 75).
– Dibawah kekuasaan Mataram inilah penduduk Blambangan mulai masuk Islam, namun tidak terjadi pergeseran struktur sosial dan kebudayaan, oleh karena kuatnya adat Blambangan (suku/wong Using) yang terus dipertahankan.
Keris Blambangan dan pengaruh jamannya
Keris Blambangan mengalami tiga (pengaruh) jamannya :
– Keris Blambangan dalam pengaruh Majapahit.
– Keris Blambangan dalam pengaruh Mataram dan Madura, karena Blambangan saling membahu dengan Madura dimana merasa sehati dalam pemberontakan Trunojojo (melawan Amangkurat).
– Keris Blambangan dalam pengaruh Bali, ketika jaman keemasan Dalem Waturenggong yang makmur, dan kerajaan Gelgel meluas ke Blambangan, Lombok, dan Sumbawa. Dalam bidang seni dan kesusastraan mencapai puncak keemasan.
Adanya indikasi terpengaruh Bali
Pada saat Dalem Ngulesir menjadi raja, pusat pemerintahan dipindahkan dari Samprangan ke Gelgel (Sweca Pura).
Dalem Ketut Semara Kepakisan pada tahun Saka 1305 (1383 M) adalah satu-satunya raja dari Dinasti Kepakisan yang sempat menghadap Raja Sri Hayam Wuruk di Majapahit. Beliau mendapat hadiah keris Ki Durga Dungkul (wilut), Ki Bengawan Canggu kemudian Ki Sudamala keris ini masih disimpan di Puri Karang Asem berbentuk relief berserat sanak.
Dalem Ketut Semara Kepakisan dalam perjalanannya singgah lama di Blambangan sebelum kembali.
Keris Blambangan dan ciri-cirinya
Menurut buku kuno : Gonjo sebit rontal; gandik agak pendek dan miring (doyong); Sogokan pendek dangkal (cekak); Luwes walau tidak rengkol luknya.
Analisa dari realita sejarah:
1. Keris Blambangan era Majapahit, Tidak berbeda jauh dengan tangguh Majapahit, empu yang tercatat a.n: empu Bramakedali, Kekep, Luwuk, Kebolungan, Ki Pitrang/Rambang dan Jaka Sura (anak Pitrang). Ada catatan bahwa karya empu Pitrang paling tersohor, biasanya bilahnya gilig (wuwung), pamornya nyekrak (miring) dan bentuknya luwes, luknya rengkol sedang.
Gonjo Sebit Rontal Gandik Pendek Miring
Karya Pitrang/Ki Rambang atau Supa Mandrangi – Pangeran Sedayu
Gandiknya miring, bilah wuwung (gilig)
Kembang kacang nggantung Lambe gajah diatas tidak landai
2. Era keris Blambangan dalam pengaruh Mataram dan Madura. Ciri-cirinya jika memakai sogokan agak lurus dan dangkal, luk pertama tinggi, sering luknya datar. Besi dan pamornya menyerupai bahan besi keris Tuban, grenengnya seperti keris Madura, secara keseluruhan seperti Mataram, mungkin keris Blambangan menjadi patron keris Mataram, atau sebaliknya, bedanya pada ukuran bilahnya lebih panjang (corok). Jika bergandik naga, biasanya naga primitif.
Lihat rancang bangun Keris Madura dan keris karya Jaka Sura
3. Era keris Blambangan dalam pengaruh keris Bali. Ciri-cirinya mirip keris Bali, namun bahan besi dan pamornya seperti bahan keris Jawa dan penampilannya tidak licin seperti keris Bali. Pamornya mirip bahan pamor tangguh Tuban, grenengnya seperti greneng Majapahit, namun rincikan lain seperti kembang kacang dan lambe gajah seperti ciri keris Bali.
Pengaruh Bali – besi mirip bahan keris Tuban
Akan kemanakah keris kamardikan gaya Blambangan?
Para pelestari keris sering ingin mencari gaya spesifik kedaerahannya, namun keris tangguh Blambangan berdiri dalam berbagai pengaruh kekuasaan masa itu. Hal ini menjadi tantangan bagi pelestariannya.
Namun ada hal yang perlu dipertimbangkan pula adalah bahwa keris dalam kenyataannya memiliki nilai non-bendawi yang harus diperhatikan dan dilestarikan.
Selain menciptakan keris unggul dalam segi bentuknya, sebagai artefak budaya perlu dipahami adanya 7 (tujuh) aspek nilai non-bendawi keris yang harus dilestarikan :
1. Kesejarahan; 2. Fungsi Sosial; 3. Tradisi; 4. Filosofi; 5. Mistik/magis; 6. Seni/kesenirupaan; 7. Teknologi
Aspek Kesejarahan
Secara ilmiah, keris selalu berkaitan dengan artefak budaya seperti relief pada candi, misal candi Sukuh, Penataran, Borobudur dll,
Kata kris telah tertulis dalam Prasasti Rukam, Prasasti Dakuwu dll,
Keris ditemui dalam buku sejarah, BABAD, kisah-kisah Legenda, buku-buku Padhuwungan dll.
Sudut pandang pelestarian keris kamardikan dapat mencari sumber dari aspek kesejarahannya.
Aspek Fungsi Sosial
Awalnya sebagai senjata tikam, untuk perang campuh satu lawan satu.
Bergeser menjadi jimat/piyandel/pusaka yang menjadi keyakinan.
Karena campur tangan raja (kekuasaan), keris berfungsi sebagai penanda status sosial, kepangkatan, penggolongan profesi dll.
Keris sebagai pelengkap busana.
Cinderamata persahabatan antar kerajaan.
Keris Kamardikan perlu dicari kemanfaatannya pula.
Relief di Candi Panataran (1347 SM) – dulu keris sebagai senjata tikam.
Sekarang sebagai pelengkap busana, keris semakin dibutuhkan oleh karena kesadaran terhadap budaya dan jati diri bangsa.
Aspek Tradisi
Adanya tradisi pemberian keris kepada menantu lelaki yang disebut “kancing gelung”.
Sebagai legitimasi estafet pelimpahan kekuasaan. (Misal keris Kyai Joko Piturun, Kyai Plered di keraton MATARAM).
Tradisi menjamas pusaka di bulan Suro atau Maulud dan kirab pusaka.
Tradisi membangkitkan kembali kekuatan (tuah) keris seperti upacara ‘Sidhikara Pusaka’ dan Pasupati/Tumpak landep (di Bali).
Perlunya melestarikan tradisi perkerisan dalam memberi bobot budaya pada keris kamardikan.
Upacara Pasopati/Tumpek Landep 2007 di Bali
Aspek Filosofi
Adanya ungkapan : “curigo manjing warangka, warangka manjing curigo”, filosofi menunggaling kawula Gusti.
Makna bentuk bilah (dapur) dan makna motif pamor sebagai pengharapan dapat tercapainya suatu tujuan.
Adanya penandaan dari empu untuk menuangkan pesan tertentu (semiotik).
Keris kamardikan harus memiliki konsep dan filosofi yang argumentatif.
Motif Pamor memiliki makna sebagai pengharapan dapat tercapainya suatu tujuan.
Aspek Mistik/Magis
Karena kekaguman manusia saat itu, terhadap penemuan teknologi besi yang dianggap sebagai ‘inspirasi dewa’ dan prosesi pembuatan dengan diiringi upacara–upacara.
Pengagungan terhadap profesi para empu (panday wsi) berlanjut karena para Ksatrya dan Raja membutuhkan senjata ampuh, dan para empu dianggap sakti.
Pengagungan ini melahirkan budaya spiritual ketika peristiwa-peristiwa gaib bersentuhan dalam masyarakatnya.
Proses penciptaan keris kamardikan
perlu adanya ritual atau penyertaan do’a yang bertujuan untuk kebaikan manusia.
Aspek Seni/Kesenirupaan
Bentuk keris yang a-simetri dan unik, tiada duanya di dunia.
Nilai harmoni yang sanggup dimuati oleh “kebutuhan teknomik”, keris dibuat condong dan berluk untuk memaksimalkan fungsinya sebagai senjata tikam.
Keris merupakan media ekspresi yang dituangkan dalam bentuk bilah (dapur), motif-motif pamor, rancang bangun dan variasinya, serta kelengkapan sarung dan asesorinya sebagai media seni.
Seni keris kamardikan harus kreatif untuk konteks kontemporer, dan harus tepat pakem jika dalam konteks konvensional (mutrani keris tangguh tua).
Dhapur keris merupakan media ekspresi yang dapat dituangkan dalam bentuk-bentuk bilah (dapur).
Aspek Teknologi
Terdapat banyak hal yang menjadi kekaguman para peneliti asing, misalnya :
– Pengadaan material (bahan dari meteor jatuh).
– Teknik tempa penyatuan logam heterogen secara hand-made yang merupakan metallurgy kuno sebagai unggulan yang tiada duanya.
– Teknologi kuno ’pengerasan’ (karburasi/nyepuh) besi low carbon menjadi high carbon yang keras/tajam tampaknya memiliki kekayaan variasi teknik dan rahasia yang belum diketahui secara teknologi modern. (Prof. Dr. Mardjono Siswosuwarno – ITB).
Perlu pengadaan material bermutu, serta penjiwaan yang dalam dan sakral, walau telah menggunakan modernisasi peralatan.
Dengan semangat membara, tulus dan sadar budaya. Pelestarian akan berlanjut hingga anak cucu kita, keris sebagai warisan budaya adiluhung bangsa Nusantara, tidak lagi dikawatirkan punah.
Terima kasih kepada teman-teman yang koleksi kerisnya terpampang disini, etikad pembuatan makalah ini adalah untuk sebuah kemanfaatan bersama.
Referensi:
Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi. Jakarta: Murai Kencana.
Brandes, J. 1920. Verslag Over Een Babad Blambangan. TBG:XXXVI.
Darusuprapta, 1984. Babad Blambangan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Epp. F. 1849. Banjoewangi. TNI I.ii: 242-246
DR. Dharsono, MSn; KERIS NUSANTARA Revitalisasi melalui upaya konservasi; 1926 thesis.
Groneman, J. DR. (1910). Wet er van de Pamor Smeedkunts worden zal (The condition of pamor art in the future), Semarang: Harian De Lokomotif, 19 July.
Harsrinuksmo, Bambang (tth), Katurangganing Dhuwung-dhuwung, Surakarta: Mangkunegaran Library H 124 & H 125.
Haryono Haryoguritno; Keris Sebagai Warisan Budaya Dunia; Puri Wiji thesis, December 2007.
Lekkerkerker. 1926. Banyuwangi 1880-1910. Indische Gids.
Raharjo, Sunaryo. (1977). Andalan Bab Pusoko Tosan Aji. Surakarta: Mangkunegaran Library H 128.
Stoppelaar, J.W. 1927. Blambangan Adatrecht. Wageningen: H. Veenman & Zonen.
Worsley, P.J. 1972. Babad Buleleng: A Balinese Dynastic Genealogy. The Hague: KITLV-BI No.8.
Wikipedia; Sites on internet, oral sources.
Sumber: http://www.javakeris.com
23 Selasa Okt 2012
Posted Uncategorized
inBahan pamor dari iron meteorites Australia
Pengantar
Kita sering mendengar bahwa pamor keris dibuat dari bahan meteor. Kemudian kita juga sering mendengar bahwa meteor mengandung titanium (Ti). Kita tidak pernah jelas mulai kapan meteor dipergunakan menjadi bahan pamor. Dan apakah betul meteor mengandung Ti (titanium)? Ada beberapa revisi telah dilakukan dalam sebuah forum diskusi, yang menyatakan mayoritas meteor (irons meteorite) adalah mengandung kristal Fe/Ni (besi dan nikel). Dalam sejarah perkerisan, catatan yang bisa dipertanggung jawabkan adalah ketika meteor jatuh di desa Klurak di daerah Prambanan. Meteor ini sebetulnya tidak tunggal. Ada yang seukuran <1m3 (Kanjeng Kyahi Pamor) dan disertai dengan ratusan kerikil dan bebatuan yang tersebar di sekeliling area kubangan bahkan melintas sekian kilometer dari lokasi utama. Ada diantaranya yang seukuran buah kelapa (dihadiahkan kepada keraton Hamengku Buwana). Sri Susuhunan Paku Buwana X, konon menyimpan banyak sekali meteor sertaan dari pamor Prambanan dan disimpan dalam kantong-kantong kecil untuk dihadiahkan kepada mereka yang berjasa kepada Keraton. Meteor dianggap sebagai jimat yang terbaik dibanding benda-benda yang ada di bumi. Kepercayaan itulah yang menggugah para raja untuk menjadikan meteor sebagai bahan pamor. Sesuai filosofi ”manungaling kawula Gusti”, dimana meteor berasal dari bapa akasa, disatukan dengan besi (pasir besi dari ibu Bumi). Dalam dekade jaman Paku Buwana inilah jelas sekali bahwa meteor telah digunakan sebagai bahan pamor.
Meteor Prambanan jatuh pada pertengahan abad 18 (1749), dimasa pemerintahan Sunan Paku Buwana III, pada waktu itu hanya beberapa kerikil meteor dibuat untuk keris, terutama diserahkan kepada empu Brojoguna. Pada pemerintahan Sunan Paku Buwana IV, meteor Prambanan yang disebut Kanjeng Kyahi Pamor yang sebesar 1m3 itu mulai dipergunakan pula. Namun ini juga tidaklah dijelaskan secara rinci berapa banyak diambil untuk pembuatan keris, mungkin saja Paku Buwana IV hingga selanjutnya Paku Buwana IX dan X menggunakan batu-batu meteor sertaannya, karena pada waktu itu ratusan kerikil hingga meteor sebesar jeruk yang diperkirakan serpihan meteor dari meteor utama, dikumpulkan dari desa tersebut diboyong ke keraton dalam dekade hampir sepanjang tahun, para abdi dan penduduk melakukan pencarian terus menerus di sungai-sungai bahkan hingga mendekati areal Candi Prambanan. Bahkan perdagangan kerikil meteor terus berlanjut. Kepercayaan terhadap jimat meteor juga masih ada hingga kini.
Penggunaan pamor keris dari batuan kerikil meteor asal Prambanan tampaknya cukup masuk akal. Hal ini bisa kita simpulkan jika kita meneliti pada Kanjeng Kyahi Pamor itu, tampaknya tidak banyak bekas pahatannya.
Apa itu Meteor?
Meteorit adalah batu yang jatuh ke bumi dari ruang angkasa. Terdapat tiga jenis dasar: batuan, besi dan batuan besi atau stones, irons dan stony irons, yang masing-masing akan dibahas berikut ini.
Stones meteorite – Irons meteorite – penampang irisan Stony irons meteorite
Tetapi sebelumnya, dari manakah asalnya meteorit?
Mayoritas terbesar berasal meteor dari sabuk asteroida, daerah dengan jutaan serpihan batu yang mengorbit di antara Mars dan Jupiter. Serpihan-serpihan ini tidak berhasil membentuk sebuah planet, sebagaimana yang terjadi pada serpihan-serpihan lain di lingkungan planet lain yang jauh dari Matahari.
Beragam serpihan dari sabuk asteroida tersebut mempunyai orbit yang berbeda dari bentuk lingkaran sampai bentuk yang sangat membujur, selain itu juga mempunyai orbit yang tidak sama pada bidang datarnya. Seiring dengan berjalannya waktu, karena perbedaan orbit tersebut, terjadilah tabrakan serpihan yang mengakibatkan sebagian terlontar dari orbitnya yang semula pada sabuk asteroida dan memasuki orbit “lintasan bumi” yang membawanya ke bumi sebagai meteorit.
Walaupun kebanyakan meteorit berasal dari sabuk asteroida, beberapa dari serpihan itu sekarang diketahui berasal dari Mars dan beberapa dari Bulan kita. Meskipun demikian, asal muasal meteorit yang langka ini juga berhubungan dengan tabrakan antar serpihan yang terjadi di sabuk asteroida. Sama seperti serpihan asteroida masuk ke bumi, beberapa serpihan juga mempengaruhi Mars atau Bulan, bahkan dengan energinya bisa mencabut kepingan batu karang yang ada di Mars ataupun Bulan.
Saat kepingan-kepingan yang tercerabut itu bisa lepas dari areanya, mereka melayang dalam jalur orbit sampai mereka secara tak terduga tiba di bumi. Bagaimana kita tahu bahwa tipe langka ini dari Mars atau dari Bulan? Inti jawabannya adalah bahwa susunan kimia mereka berbeda dari susunan kimia meteorit yang berasal dari asteroida.
Batuan Meteor atau Stones Meteorite
Kebanyakan Batuan Meteor (Stones Meteorite) komposisinya yang terbanyak adalah mineral yang mudah ditemukan di bumi, seperti olivin, piroxin dan feldspar. Ketiganya merupakan silikat, yaitu mineral banyak ditemukan pada lava volkanik di bumi. Berdasarkan tekstur mereka, Stone Meteorite terbagi dalam dua jenis, jenis chondrit dan achondrit.
Dinamakan chondrit karena mereka mengandung “BB-like”, yaitu bidang yang seperti kaca (kristal kaca mirip kwarsa), yang disebut chondrule. Chondrule ini, berupa obyek kecil yang unik, tak pernah ditemukan pada batu karang yang terdapat di bumi, tampaknya telah terbentuk pada awal sekali, sama seperti masa pembentukan ”sistem solar” dengan matahari dan planet-planetnya. Untuk alasan-alasan yang tidak kita ketahui, titik-titik leburan yang terbentuk di dalam “awan debu” itulah yang kemudian akan menjadi ”sistem solar” kita. Meteorit-meteorit chondrit ini sering dipandang sebagai “primitif” karena batuan dari masa lampau ini telah mengorbit di ruang angkasa tanpa berubah, selama 4,5 milyar tahun sebelum sampai di bumi.
Dinamakan achondrit –batuan yang lebih langka lagi – karena mereka tidak mengandung chondrule. Achondrit ini telah mengalami banyak perubahan, berbeda dengan batuan chondrit yang tak berubah dan “primitif” yang disebut di atas. Pada kebanyakan kasus, terjadinya peleburan pada keseluruhan batu pada masa lampau itu menyebabkan chondrule yang ada jadi hilang.
Susunan kimia yang sama masih ada, tapi chondrule “BB-like” telah digantikan oleh tekstur yang mempunyai komposisi seperti mosaik dari kristal yang saling mengunci. Tekstur yang baru ini mirip bebatuan igneous, yang terbentuk di bumi, karena mereka mengkristal dari bentuk cair. Jadi dimana achondrit terbentuk? Jawabannya ada pada asteroida yang besar dan planet-planet. Banyak asteroida tumbuh cukup besar dan mempunyai bahan bakar radioaktif yang memadai, sehingga peleburan terjadi bahkan pada saat mereka belum mencapai ukuran planet.
Asteroida terbesar yang diketahui adalah berdiameter sekitar 600 mil. Sebagai ikhtisarnya, bayangkan sebuah asteroida yang komposisinya terdiri dari chondrule dan “debu primordial” yang tumbuh cukup besar untuk melebur, karenanya membentuk kristal achondrit saat pendinginan. Sebagai tambahan pada asteroida, meteorit-meteorit Mars dan Bulan yang kita kenal, semuanya achondrit karena mereka berasal dari obyek-obyek besar dimana terjadi aktifitas volkanik, sama seperti yang terjadi di bumi.
Logam Meteor atau Irons Meteorite
Logam Meteorit komposisinya kebanyakan dari campuran logam yaitu yang menonjol adalah besi (Fe) dengan sejumlah variasi nikel (Ni) yang larut dalam besi. Campuran dari kedua unsur yang berbeda ini, Fe dan Ni, yang biasanya ditemukan pada besi adalah kamacit (campuran Ni rendah) dan taenit (campuran Ni tinggi). Banyak besi terdiri dari dua jenis campuran ini yang bersama-sama telah mengkristal menyebabkan pola geometris yang dinamakan bilangan Widmanstatten. Mineral berikutnya yang biasa terdapat pada logam adalah troilit, sejenis besi sulfida, yang jarang terdapat di bumi, yang biasanya menjadi tonjolan bila bercampur dengan Fe dan Ni. Menurut SG. Nielsen yang melakukan penelitian bersama M. Rehkamper dan A. Halliday melalui cosmochemists bahwa terjadinya kristal Fe-Ni tersebut karena adanya ikatan radionuclide As, Ti dan Pb. (penelitian pada jenis meteor Toluca dan Canyon Diablo).
Klasifikasi ilmiah dari logam yang terdiri dari beberapa macam jenis merupakan hal yang rumit dan sulit karena hal ini berdasarkan dari jumlah kandungan elemen yang terlacak dan tidak kasat mata. Klasifikasi berdasarkan hal yang tampak, seperti halus, sedang atau kasar, juga digunakan pada kelompok yang dinamakan oktahedrit (dimana kamacit dan taenit ditemukan bersama-sama). Disebut klasifikasi ilmiah karena berasal dari usaha untuk menentukan logam yang berasal dari asteroida yang sama.
Bagaimana terbentuknya meteorit-meteorit dengan komposisi sepenuhnya campuran Fe/Ni?
Untuk memahami hal ini, bayangkan massa karang yang besar di ruang angkasa, yaitu sebuah asteroida, mengalami peleburan menyeluruh. Pada saat ini terjadi, campuran logam berat masuk ke pusat massa, menggantikan obyek-obyek yang lebih ringan yang terangkat ke atas dan mendekati permukaan. Contohnya, pikirkan tentang planet bumi yang mempunyai pusat logam dan sebuah lapisan dan kerak di atasnya. Setelah pemisahan campuran logam berat yang ada di pusatnya dengan zat silikat yang lebih ringan tersebut, terjadilah tabrakan yang menyebabkan hancurnya asteroida dan berserakan menjadi ribuan kepingan. Beberapa dari keping yang terserak itu menjadi campuran Fe/Ni dari pusat sebelumnya dan beberapa lainnya akan menjadi mineral silikat yang semula adalah lapisan di atasnya. Hal ini mengakibatkan banyak serpihan pada sabuk asteroida adalah merupakan campuran logam yang Fe/Ni nya paling dominan.
Batuan Logam Meteor atau Stony Irons Meteorite
Batuan Logam merupakan kombinasi dari zat batu dengan campuran logam. Pada kelompok yang agak besar ini, ada 2 tipe yang cukup berbeda, disebut pallasit dan mesosiderit. Meskipun keduanya merupakan kombinasi batu dan logam, asal muasal keduanya benar-benar berbeda.
Batu bintang dari Kalimantan jenis yang sering dibuat mandau
(koleksi Empu Subandi Suponingrat)
Pertama, kelompok pallasit terdiri dari sebagian besar mineral silikat olivin (disebut permata peridot) yang bercampur dengan campuran Fe/Ni.
Bagaimana pallasit terbentuk?
Seperti pada logam meteorit (iron meteorite), bayangkan peleburan menyeluruh dari sebuah asteroida dengan perpecahan yang biasa terjadi dari logam ke pusatnya. Perpecahan itu pasti tidak sempurna sebelum pendinginan sehingga masih ada mineral silikat, seperti olivin, yang tertinggal di dalam logam tersebut. Ini merupakan material yang kemudian akan menjadi pallasit. Sama seperti pada logam, perpecahan dari asteroida yang tidak sempurna menyebabkan terjadinya serpihan, yaitu pallasit bersamaan dengan unsur-unsur lainnya yang berasal dari pusatnya yaitu logam. Pada faktanya, seringkali meteorit yang sama ditampilkan kembali oleh kepingan-kepingan dari karakter pallasit yang biasa dan oleh besi yang mengandung sangat sedikit olivin bahkan tanpa olivin sama sekali.
Mesosiderit juga merupakan kombinasi dari material berbatu dengan logam campuran. Akan tetapi berbeda dengan pallasit, material batuannya bukanlah olivin tetapi komposisinya terdiri atas beragam jenis bebatuan, dimana bentuk serpihan pecahannya sangat tidak beraturan.
Bagaimana mesosiderit terbentuk?
Sekali lagi bayangkan sebuah asteroida dalam hal ini sebuah logam: perpecahan batu yang terjadi setelah peleburan. Pada waktu kemudian yang agak lama, terjadi goncangan asteroida, menyebabkan terjadinya ribuan serpihan yang mengarungi ruang angkasa seperti koleksi yang lepas, mirip sekali seperti awan serpihan-serpihan. Berangsur-angsur serpihan-serpihan ini menarik satu sama lain karena kekuatan gravitasi, dan menjadi satu kembali, tetapi sekarang sebagai kombinasi yang acak, logam di pusat dan lapisan silikat tidak seperti lapisan yang tertata seperti pada bentuk asteroida yang semula.
Keris berpamor Meteor
Keris yang telah dibuat dari sejak jaman purwacaritra, Mataram Hindu hingga detik ini, sangatlah sulit dilacak apakah benar bahan pamor yang menyertainya dibuat dari bahan meteor. Dibeberapa pihak, mereka yang sangat memahami tangguh Paku Buwana, bisa membedakan jenis pamor dari meteor dan yang bukan. Karena pada tangguh Paku Buwana (PB) pun tidak semua keris berpamor meteor. Tetapi justru kondisi itulah yang menghasilkan pedoman, yaitu dengan memperbandingkan setiap keris tangguh PB. Pengamat dan kolektor yang sangat memahami tangguh PB antara lain adalah Ir. Haryono Haryoguritno, KRA. Sani Gondoadiningrat dan beberapa senior perkerisan seperti Ir. Brotohadi Sumadyo, Supranto dlsb, telah terbiasa menduga (bukan memastikan) mana keris yang berpamor meteor dan yang bukan. Ada beberapa kesimpulan yang perlu diperhatikan dan yang mungkin bisa dijadikan acuan adalah bahwa jika mengamati tangguh PB yang menggunakan meteor pastilah pamornya bernuansa. Ada keabu-abuan dan ada yang jernih (deling). Pamor nikel biasanya mati (tidak bernuansa) atau orang Jawa menyebutnya dengan menteleng (melotot) alias jreng.
Pasopati PB X dan Nom-noman Cirebon koleksi Hengky Joyopurnomo;
KK Katiban (TJ); pamor Nogorangsang PB IX Singowijoyo koleksi KRA. Sani Gondoadiningrat.
Kenapa pamor meteor bernuansa?
Seperti dijelaskan diatas bahwa bahan irons meteorite atau stony irons meteorite bisa digunakan menjadi bahan pamor keris, terutama karena adanya kristal Fe/Ni yang banyak, disertai unsur lain seperti adanya phospor, senyawa Ti, As, Pb sebagai isotop pengikatnya. Ketika dalam prakteknya menjadi pamor keris, unsur-unsur heterogen itu tidak hilang sama sekali sehingga alur pamor meteor akan bernuansa. Pamor ini secara visual ada warna abu-abu dan ada kehitaman serta ada pula bagian yang putih cemerlang, yang jika diamati tampak aura sinar warna-warni. Hal ini menjadi sangat jelas jika keris diminyaki dan dipandang dibawah sinar matahari. Empu Djeno Harumbrojo (alm), menyebutnya dengan kata ”sulak” atau bias pelangi warna.
Namun demikian pada prakteknya, pegiat keris dan seniman keris Kamardikan yang mulai mengolah pamor dari bahan meteor, tetap harus melakukan eksperimentasi terutama pada treatment akhir setelah finishing touch bentuk keris. Karena tampaknya empu jaman dahulu pun melakukan treatment termasuk melalui cara ”quenching” atau sepuh, kamalan (merendam pada air welirang) dan bahkan mutih keris dan mewarangi dengan banyak cara seperti cara di’nyek’, untuk menimbulkan estetika dari bahan meteor yang diharapkan memberi keterpukauan pada detail pamornya, dan bukan hanya pada jenis motifnya. (TJ)
Diolah dari sumber : Meteorite basics, ASU.edu.com